Kebijakan Tanpa Seleksi PPPK: Sebuah Langkah Mundur dalam Reformasi Ketenagakerjaan
Dalam beberapa tahun terakhir, seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) telah menjadi angin segar bagi tenaga honorer dan profesional di berbagai bidang. Skema ini dianggap sebagai solusi bagi mereka yang telah lama mengabdi, tetapi belum memperoleh status kepegawaian yang layak. Namun, keputusan pemerintah untuk tidak lagi membuka seleksi PPPK menimbulkan berbagai pertanyaan dan kritik dari masyarakat.
Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur dalam
reformasi ketenagakerjaan di sektor publik. Banyak tenaga honorer yang telah
bertahun-tahun bekerja dengan gaji rendah dan tanpa kepastian status
kepegawaian. Mereka mengandalkan seleksi PPPK sebagai peluang untuk mendapatkan
hak yang lebih layak, termasuk gaji sesuai standar, tunjangan, serta jaminan
sosial yang memadai. Dengan dihilangkannya seleksi ini, mereka kembali terjebak
dalam ketidakpastian.
Selain itu, penghentian seleksi PPPK juga berdampak
pada kualitas layanan publik. Banyak instansi pemerintah, terutama di bidang
pendidikan dan kesehatan, masih kekurangan tenaga profesional. Guru honorer
yang sebelumnya berkesempatan menjadi PPPK kini kembali terhambat dalam
memperoleh status resmi. Begitu juga tenaga kesehatan yang telah berjuang
selama pandemi, kini kehilangan harapan untuk mendapatkan pengakuan formal dari
pemerintah.
Dari segi kebijakan, keputusan ini juga mencerminkan
inkonsistensi dalam manajemen sumber daya manusia di pemerintahan. Di satu
sisi, pemerintah menuntut profesionalisme dan kompetensi dari tenaga honorer,
tetapi di sisi lain mereka tidak diberikan kesempatan yang adil untuk
memperoleh status yang lebih baik. Akibatnya, banyak tenaga kerja yang merasa
diperlakukan tidak adil dan kehilangan motivasi dalam bekerja.
Sebagai solusi, pemerintah seharusnya tidak
menghentikan seleksi PPPK secara tiba-tiba, tetapi melakukan evaluasi yang
lebih komprehensif. Jika alasan utama penghentian adalah keterbatasan anggaran,
maka perlu dicari solusi alternatif, seperti penganggaran bertahap atau skema
pembiayaan yang lebih fleksibel. Pemerintah juga dapat mengutamakan seleksi
bagi tenaga honorer yang telah lama mengabdi, sehingga mereka mendapatkan
prioritas dalam pengangkatan.
Selain itu, reformasi sistem kepegawaian perlu
diperkuat dengan transparansi dan kepastian hukum. Pemerintah harus menjelaskan
dengan jelas alasan penghentian seleksi PPPK dan memberikan roadmap yang jelas
bagi tenaga honorer. Jika memang seleksi PPPK tidak lagi menjadi prioritas,
maka harus ada mekanisme lain yang tetap memberikan kesempatan bagi tenaga
honorer untuk memperoleh status yang lebih layak.
Harapan ke depan, pemerintah lebih memperhatikan nasib
tenaga kerja di sektor publik. Ketidakpastian kebijakan hanya akan menimbulkan
keresahan dan berpotensi menghambat kualitas pelayanan publik. Konsistensi
dalam kebijakan ketenagakerjaan harus menjadi perhatian utama agar
kesejahteraan tenaga honorer dan kualitas layanan kepada masyarakat tetap
terjaga. Dengan adanya seleksi yang adil dan berkelanjutan, pemerintah tidak
hanya memberikan apresiasi kepada tenaga kerja, tetapi juga memastikan
pembangunan sumber daya manusia yang lebih berkualitas di masa depan.
Komentar
Posting Komentar